Wednesday 10 July 2013

Terapi Musik di Indonesia Kurang Berkembang

Ujung tombak terapi musik di Indonesia adalah kerinduan sejak studi awal tentang hubungan antara musik, psikologi dan kesehatan.

Sekarang, setelah ia menjadi profesor psikologi musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2011, Dr Djohan, masih merasa sulit untuk membuat mimpinya menjadi kenyataan.

“Saya sudah menjadi profesor pertama dalam bidang psikologi musik di negara ini. Saat saya sedang terlibat dalam disiplin ilmu yang relatif langka tersebut, saya merasa berjuang sendiri untuk mewujudkan terapi musik, “kata doktor psikologi alumnus Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta ini, Rabu (23/5).

Bahkan, Indonesia telah tertinggal jauh di belakang dari negara-negara lain dalam metode terapi musik. Djohan bertekad untuk memasukkan potensi besar terapi musik untuk kesehatan masyarakat Indonesia.

“Sayangnya, potensi ini tidak ditekankan dan ditingkatkan untuk mendukung penyembuhan pasien di rumah sakit. Psikologi musik masih belum dilirik,” kata pria kelahiran Palembang 17 Desember 1960 ini.

Bagi Djohan, pendekatan interdisipliner harus dikejar untuk memastikan obat lebih efisien dan efektif untuk pasien. Daripada mengandalkan obat-obatan, terapi musik dapat membantu mempercepat pemulihan. “Ketika kita tertinggal dalam menerapkan metode ini, pasien sangat dirugikan,” kata ayah dari tiga anak ini, yang telah mengunjungi Jepang, Australia, Thailand dan negara lain untuk mempelajari terapi ini.

Secara historis, menurut pria penerima penghargaan Penggunaan Terapi Musik dari College of Music di Universitas Mahidol Bangkok, Thailand, pada 2009 ini, terapi musik sudah dikenal pada akhir abad ke-18, meskipun sebelumnya menjadi media penyembuhan di beberapa tempat seperti Cina, India, Yunani dan Italia.

“Di Amerika, terapi ini diterapkan untuk mengobati korban Perang Dunia I, terutama untuk mengatasi trauma yang mempengaruhi para veteran perang, bahkan para terapis musik sudah berafiliasi dalam sebuah organisasi American Music Therapy Association (AMTA),” kata Djohan, yang juga anggota dari Australia Musik dan Asosiasi Psikologi.

Kelangkaan ahli terapi musik atau praktisi menimbulkan kendala untuk usahanya mempopulerkan pengobatan ini. Dia memiliki kesulitan menemukan rekan-rekan untuk diskusi atau penelitian lebih jauh. “Jadi saya harus mencari mitra asing melalui internet,” ungkapnya.

“Psikolog Indonesia memang menyadari terapi ini, tapi mereka sangat jarang menerapkannya atau mempelajari lebih jauh ke dalam, mungkin karena mereka merasa kurang kompeten untuk menangani musik, sehingga membuat mereka sekedar tertarik,” tambahnya yang juga penulis beberapa buku ini.

Meskipun demikian, Djohan merasa bersyukur atas beberapa rumah sakit memberikan respon positif terhadap tawarannya, meskipun penerapannya belum mencapai tahap terapi, namun masih sebagai uji coba untuk menguji pengaruh dari musik terhadap lingkungan rumah sakit, seperti ruang tunggu dan bangsal pasien.

“Penggunaan terapi musik dapat menciptakan suasana kenyamanan dan relaksasi, sebelum diterapkan untuk membantu menyembuhkan pasien,” jelas Djohan, yang juga anggota Dewan Provinsi Budaya Yogyakarta.

Akhir-akhir ini, terapi musik juga telah diajarkan sebagai mata pelajaran di beberapa universitas. Menurut Djohan, penelitian telah menunjukkan bahwa musik dapat meringankan berbagai keluhan dan gangguan seperti kecemasan, depresi, gangguan saraf, insomnia dan stroke, dan dapat mengurangi risiko infeksi, detak jantung dan kontrol tekanan darah.

“Terapi musik sangat penting untuk mempercepat proses penyembuhan dalam kondisi seperti itu, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti menyanyi, bermain musik, membuat gerakan ritmis atau hanya mendengarkan musik,” kata dosen pascasarjana di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta dan Universitas Negeri Semarang ini.

Source: psikologizone.com

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 My Simplicity and Powered by Blogger.